Arung Palakka

Arung Palakka
La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin

Welcome

Selamat Datang

12 Agustus 2008

Pembangunan: Mengentaskan Kemiskinan atau Menggusur Orang Miskin?!

Data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indikator Perekonomian pada November 2007 menyebutkan penduduk miskin Indonesia pada Maret 2007 sekitar 37,17 juta. Adapun angka pengangguran sebesar 9,75 persen pada Februari 2007 dari total angkatan kerja atau sekitar 189 ribu orang setiap tahunnya. Tingkat pengangguran nasional tersebut, sekitar 66 persen orang muda berusia 17-18 tahun yang putus sekolah menganggur, dengan kisaran menjadi sekitar 53 persen pada usia 19-20 tahun dan 20 persen usia 23-24. Total pengangguran saat ini sekitar 10,9 juta orang. Beberapa hal yang menjadi indikator kemiskinanan antara lain banyaknya kasus gizi buruk dan kelaparan, rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka pengangguran dan krimininalitas.

Kasus gizi buruk dan kelaparan jelas terkait pada masalah penyediaan pangan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kasus ini seolah-olah menjadi fenomena gunung es. Dimana kasus yang nampak itu hanyalah sebagian kecil dari kondisi yang terjadi sebenarnya di masyarakat.
Rendahnya minat masyarakat memasukkan anak-anaknya ke dalam lembaga-lembaga pendidikan terkait mahalnya biaya pendidikan dan desakan untuk mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Ini menyebabkan pendidikan bukan prioritas utama bagi keluarga miskin.
Jumlah pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pendidikan yang tinggi pun bukan suatu jaminan. Banyak lulusan perguruan tinggi saat ini tidak memiliki pekerjaan. Himpitan ekonomi membuat beberapa orang tergerak menempuh jalan pintas dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sehingga kerawanan pun sosial semakin tinggi. Tindak kriminalitas seperti perampokan, pencurian dan penjambretan menjadi sesuatu yang sering terjadi.
Keadaan ini semakin diperparah dengan kebijakan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seringkali tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Walaupun kebijakan itu pada dasarnya secara konseptual sangat baik namun kenyatan dilapangan berbeda dengan perencanaannya. Beberapa hal diantaranya menyangkut kebijakan mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM), konversi lahan pertanian dan pemberian bantuan/subsidi.
Konversi minyak tanah ke gas sangat membingungkan, rakyat yang kesehariannya menggunakan minyak tanah untuk aktifitas masak memasak dialihkan menggunakan bahan bakar gas. Namun apa lacur kelangkaan gas menjadi kendala yang menghadang. Ketika ingin kembali menggunakan minyak tanah, ternyata harganya sudah membumbung tinggi dan dijatah lagi. Seiring program penghematan penggunaan bahan bakar pemerintah melakukan pembatasan pembelian bahan bakar minyak. Tentu saja ini menyebabkan aktifitas roda kehidupan rakyat yang sangat bergantung pada BBM menjadi terhambat, contohnya para nelayan, usaha kecil dan pengusaha angkutan umum.
Konversi lahan pertanian merupakan bagian dari dinamika ekonomi. Namun harus ada rasio yang tepat. Membuat kebijakan konversi harus ada batas yang ditoleransi. Lahan pertanian di Indonesia saat ini kurang lebih seluas 20 juta hektar dengan jumlah petani sekitar 25 juta orang. Dimana terjadi pengurangan akibat konversi menjadi pemukiman dan industri sebesar 40 ribu hektar setiap tahunnya. Pemerintah harus segera menggodok aturan hukum baru mengenai konversi lahan sebagai bagian dari UU Pertanian yang mewajiban bagi setiap pengusaha yang melakukan pembangunan di atas lahan pertanian dan mengakibatkan hilangnya fungsi lahan itu sebagai sawah atau kebun untuk buka lahan baru sebagai pengganti.
Menyikapi masalah itu pemerintah perlu pula melakukan berbagai upaya demi meningkatkan produksi pangan nasional. Mulai penyebaran bibit varietas padi unggul dan bermutu, penyuluhan, penggunaan pupuk seimbang sampai teknologi produksi tepat guna. Intensifikasi tetap dilakukan tanpa mengabaikan luas lahan.
Beberapa sistem yang ada sekarang sebenarnya sudah sangat baik. Hanya saja keluaran atau produk yang dihasilkan oleh mereka yang duduk sebagai pengambil keputusan tersebut yang belum jelas arah orientasinya. Selama ini Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya solusi yang bersifat sementara tanpa ada proyeksi jelas kedepannya. Ranperda Tibum berupa pengesahan revisi Raperda No.11 tahun 1988 yang dicanangkan Propinsi DKI Jakarta bukanlah solusi tepat yang bisa memecahkan masalah kemiskinan. Itu hanyalah upaya menyingkirkan orang miskin bukan mengentaskan kemiskinan. Ini semakin menambah daftar kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Jadi menyikapi permasalahan yang ada, masalah mendasar yang sebenarnya melanda bangsa ini jelas pada pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang berpihak kepada rakyat. Selama ini belum ada kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar hidup masyarakat berupa pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan.

0 komentar:

Daftar Referensi

Jadual Sholat Untuk Wilayah Watampone dan Sekitarnya