Indonesia berdasarkan tinjauan letak geografis dan kondisi geologinya merupakan daerah dengan tingkat potensi kerawanan terhadap bencana alam yang sangat tinggi. Pengrusakan lingkungan hidup, kondisi dinamis dalam perut bumi dan pengaruh perubahan iklim global menjadi faktor utama kerentanannya.
Bencana alam yang terjadi diantaranya gempa bumi (tektonik), gunung meletus (vulkanik), banjir, kekeringan, tanah longsor, angin kencang, tsunami dan kebakaran hutan.
Fakta menunjukkan, jumlah rata-rata korban bencana alam di Indonesia cenderung meningkat. Jika pada tahun 1981-1990 jumlah rata-rata orang yang terimbas bencana berkisar 212.000 orang, tahun 1991-2000 jumlahnya berlipat menjadi 709.000 orang. Dan pada tahun 2001-2008 ini jumlah korban itu semakin memprihatinkan saja. Puncaknya ketika terjadi bencana dunia tsunami Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), dimana korban yang meninggal mencapai lebih dari 120.000 jiwa.
Namun sangat disayangkan setelah melalui berbagai bencana yang terjadi selama ini pengetahuan masyarakat mengenai potensi dan penanganan bencana alam baik pra bencana, saat maupun pasca bencana masih sangat minim. Pemerintah pun belum secara maksimal mengupayakan penanganan bencana dengan baik dan terpadu. Untuk itu perlu upaya menyeluruh dan terus–menerus dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, organisasi terkait dan pemerintah dalam menangani dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana alam.
Satu hal penting yang harus dilakukan dalam penanganan (manajemen) bencana alam untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menangani dan meminimalkan potensi kerusakan, kerugian dan korban yang mungkin timbul adalah Membangun Pusat Informasi Bencana Alam.
Pusat informasi bencana alam menjadi pusat rujukan informasi masyarakat dalam menemukenali segala hal mengenai bencana alam, baik itu jenis-jenisnya, faktor-faktor yang melatarbelakangi atau penyebab terjadinya dan tindakan apa saja yang dilakukan bila terjadi bencana alam. Pusat informasi bencana alam ini dibangun terutama di daerah rawan bencana dan bila perlu sampai pada level pemerintahan di tingkat kabupaten.
Pusat informasi bencana alam haruslah menyediakan database informasi dan menjadi tempat penyebarluasan semua hal penting mengenai bencana alam yang diantaranya berupa:
1. Pembuatan Media Informasi Bencana Alam
Media informasi memegang peranan penting dalam penyebarluaskan informasi mengenai bencana alam. Media itu dapat berupa barang cetakan diantaranya buku, panflet, leaflet, komik populer dan dapat pula berupa digital elektronik seperti video, rekaman suara serta lain sebagainya yang isinya memuat mengenai apa saja yang berkaitan dengan bencana alam dan bagaimana penanganannya. Bila memungkinkan, apabila terjadi bencana alam pememerintah menyediakan saluran telepon darurat atau pusat informasi/pengaduan (call center). Saluran telepon ini menjadi jalur resmi bagi masyarakat baik di dalam maupun di luar lokasi bencana untuk mengetahui detail kejadian bencana antara lain waktu kejadian, dampak kerusakan baik korban jiwa maupun harta benda.
2. Penyuluhan dan Sosialisasi Bencana Alam
Tersedianya sarana dan prasarana untuk pemberian penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bencana alam baik itu tempat, alat dan bahan sosialisasi serta tentu saja sumber daya manusia yang menjadi penyuluh. Kegiatan ini dapat dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani masalah kebencanaalaman.
3. Panduan Menghadapi Bencana Alam
Dalam persiapan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana alam, harus ada panduan prosedur dan tatacara menghadapi bencana alam yang tersusun sistematis dengan lingkup pembahasannya yang meliputi semua jenis bencana alam dan cara menghadapinya. Jadi masyarakat dapat segera mengambil langkah dan upaya penyelamatan diri bila terjadi bencana.
4. Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam dan Zonasi Daerah Bahaya Serta Prakiraan Resiko
Peta rawan bencana alam memberikan informasi dasar mengenai kondisi suatu daerah ditinjau dari potensi-potensi bencana yang kemungkinan dapat terjadi. Adapun peta zonasi daerah bahaya serta prakiraan resiko menggambarkan lingkup zona daerah bahaya beserta prakiraan tingkat resiko/bahaya yang dapat terjadi. Tentu saja peta ini dibuat melalui survei mendetail oleh pihak-pihak terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi (PVMBG) dan lain sebagainya. Contohnya pembuatan peta rawan banjir, longsor, tingkat bahaya kebakaran hutan dan seismisitas.
Penunjukan Rumah Sakit Rujukan Korban Bencana Alam
Bencana alam yang terjadi dapat saja mengakibatkan terjadinya korban jiwa, baik luka maupun meninggal dunia. Untuk itu perlu ada rujukan satu rumah sakit terutama di daerah rawan bencana sebagai tempat/unit penanganan medis darurat korban bencana. Tentunya dengan pengalokasian Sumber Daya Manusia (SDM), dana, peralatan medis dan obat-obatan yang memadai. Selain itu penyediaan bahan kebutuhan berupa makanan, selimut dan tenda darurat untuk lokasi pengungsian.
Simulasi Penanganan Bencana Alam
Simulasi bencana menjadi bagian penting dalam memberikan pengetahuan dasar bagi masyarakat mengenai tindakan apa saja yang dapat dilakukan bila terjadi bencana. Contohnya memberikan simulasi berupa praktek dilapangan mengenai tindakan yang diambil bila terjadi tsunami. Dimana bila terjadi tsunami yang seharusnya dilakukan adalah berlari ke tempat tertinggi bukan ke tempat yang terjauh dari pantai.
Kerjasama dengan Pihak Terkait untuk Mitigasi Fisik Bencana Alam
Dampak bencana alam tentu memberikan kerugian yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia dan lingkungan.Untuk itu perlu jalinan kerjasama dengan negara lain, organisasi ataupun lembaga donor dalam mengatasi masalah yang timbul akibat bencana, seperti masalah kesehatan, perumahan, pendidikan, mata pencaharian dan lain sebagainya.
12 Agustus 2008
Penanganan Bencana Alam: Perlu Keseriusan Pemerintah!
Label: Iptek
Diposting oleh Jimmi Nugraha di 09.26 0 komentar
Pembangunan: Mengentaskan Kemiskinan atau Menggusur Orang Miskin?!
Data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indikator Perekonomian pada November 2007 menyebutkan penduduk miskin Indonesia pada Maret 2007 sekitar 37,17 juta. Adapun angka pengangguran sebesar 9,75 persen pada Februari 2007 dari total angkatan kerja atau sekitar 189 ribu orang setiap tahunnya. Tingkat pengangguran nasional tersebut, sekitar 66 persen orang muda berusia 17-18 tahun yang putus sekolah menganggur, dengan kisaran menjadi sekitar 53 persen pada usia 19-20 tahun dan 20 persen usia 23-24. Total pengangguran saat ini sekitar 10,9 juta orang. Beberapa hal yang menjadi indikator kemiskinanan antara lain banyaknya kasus gizi buruk dan kelaparan, rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka pengangguran dan krimininalitas.
Kasus gizi buruk dan kelaparan jelas terkait pada masalah penyediaan pangan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kasus ini seolah-olah menjadi fenomena gunung es. Dimana kasus yang nampak itu hanyalah sebagian kecil dari kondisi yang terjadi sebenarnya di masyarakat.
Rendahnya minat masyarakat memasukkan anak-anaknya ke dalam lembaga-lembaga pendidikan terkait mahalnya biaya pendidikan dan desakan untuk mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Ini menyebabkan pendidikan bukan prioritas utama bagi keluarga miskin.
Jumlah pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pendidikan yang tinggi pun bukan suatu jaminan. Banyak lulusan perguruan tinggi saat ini tidak memiliki pekerjaan. Himpitan ekonomi membuat beberapa orang tergerak menempuh jalan pintas dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sehingga kerawanan pun sosial semakin tinggi. Tindak kriminalitas seperti perampokan, pencurian dan penjambretan menjadi sesuatu yang sering terjadi.
Keadaan ini semakin diperparah dengan kebijakan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seringkali tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Walaupun kebijakan itu pada dasarnya secara konseptual sangat baik namun kenyatan dilapangan berbeda dengan perencanaannya. Beberapa hal diantaranya menyangkut kebijakan mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM), konversi lahan pertanian dan pemberian bantuan/subsidi.
Konversi minyak tanah ke gas sangat membingungkan, rakyat yang kesehariannya menggunakan minyak tanah untuk aktifitas masak memasak dialihkan menggunakan bahan bakar gas. Namun apa lacur kelangkaan gas menjadi kendala yang menghadang. Ketika ingin kembali menggunakan minyak tanah, ternyata harganya sudah membumbung tinggi dan dijatah lagi. Seiring program penghematan penggunaan bahan bakar pemerintah melakukan pembatasan pembelian bahan bakar minyak. Tentu saja ini menyebabkan aktifitas roda kehidupan rakyat yang sangat bergantung pada BBM menjadi terhambat, contohnya para nelayan, usaha kecil dan pengusaha angkutan umum.
Konversi lahan pertanian merupakan bagian dari dinamika ekonomi. Namun harus ada rasio yang tepat. Membuat kebijakan konversi harus ada batas yang ditoleransi. Lahan pertanian di Indonesia saat ini kurang lebih seluas 20 juta hektar dengan jumlah petani sekitar 25 juta orang. Dimana terjadi pengurangan akibat konversi menjadi pemukiman dan industri sebesar 40 ribu hektar setiap tahunnya. Pemerintah harus segera menggodok aturan hukum baru mengenai konversi lahan sebagai bagian dari UU Pertanian yang mewajiban bagi setiap pengusaha yang melakukan pembangunan di atas lahan pertanian dan mengakibatkan hilangnya fungsi lahan itu sebagai sawah atau kebun untuk buka lahan baru sebagai pengganti.
Menyikapi masalah itu pemerintah perlu pula melakukan berbagai upaya demi meningkatkan produksi pangan nasional. Mulai penyebaran bibit varietas padi unggul dan bermutu, penyuluhan, penggunaan pupuk seimbang sampai teknologi produksi tepat guna. Intensifikasi tetap dilakukan tanpa mengabaikan luas lahan.
Beberapa sistem yang ada sekarang sebenarnya sudah sangat baik. Hanya saja keluaran atau produk yang dihasilkan oleh mereka yang duduk sebagai pengambil keputusan tersebut yang belum jelas arah orientasinya. Selama ini Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya solusi yang bersifat sementara tanpa ada proyeksi jelas kedepannya. Ranperda Tibum berupa pengesahan revisi Raperda No.11 tahun 1988 yang dicanangkan Propinsi DKI Jakarta bukanlah solusi tepat yang bisa memecahkan masalah kemiskinan. Itu hanyalah upaya menyingkirkan orang miskin bukan mengentaskan kemiskinan. Ini semakin menambah daftar kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Jadi menyikapi permasalahan yang ada, masalah mendasar yang sebenarnya melanda bangsa ini jelas pada pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang berpihak kepada rakyat. Selama ini belum ada kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar hidup masyarakat berupa pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Label: Sosial
Diposting oleh Jimmi Nugraha di 09.19 0 komentar
Daftar Referensi
-
-
-
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran - Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman menyebut ada segelintir umat Islam yang memakai istilah 'amar makruf nahi mungkar' untuk mengklaim kebenaran.4 tahun yang lalu
-
-